Pendokumentasian peristiwa dalam bentuk sebuah video adalah bekerja dengan kehendak agar peristiwa dalam film itu tidak hanya sebatas menjadi kenangan, tapi juga mengonstruksi kembali suatu semangat di balik peristiwa itu. Lebih lagi ketika film-film yang didokumentasikan itu adalah film-film yang berangkat dari peristiwa-peristiwa kebudayaan. Tak sebatas hanya peristiwa-peristiwa kesenian atau film-film yang merupakan kehidupan fiksi belaka, tapi juga berbagai peristiwa kebudayaan seperti pesta adat, ritual, serta film-film feature kebudayaan lainnya. Menggarap problem urban tentunya tidak bisa dilakukan tanpa pemetaan persoalannya. Tema-tema otentik yang muncul dalam video para partisipan workshop menggambarkan stereotipe sekaligus lokalitas urban seperti lingkungan, kebersihan, transportasi, tata ruang, pendidikan, hingga soal kriminalitas.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, masyarakat semakin mudah mendapatkan peralatan dan membuat video, yang seharusnya dapat dijadikan peluang untuk memproduksi dan menyebarkan gagasan atau informasi ke masyarakat itu sendiri dan sekitarnya. Beberapa tahun belakangan, telah banyak kelompok-kelompok masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai menggunakan video sebagai media dalam pemberdayaan masyarakat. Upaya ini kemudian sering disebut dengan video komunitas. Video komunitas memiliki keunikan dibandingkan dengan video dokumenter, ataupun video jenis lainnya.
Perbedaan yang mendasar antara video dokumenter dan video komunitas adalah video dokumenter akan selesai ketika video dokumenter tersebut selesai dibuat sedangkan video komunitas tidaklah demikian. Secara teori dirumuskan bahwa film dokumenter adalah pemanfaatan kapasitas rekaman suara dan sinematografi untuk menghasilkan kembali (reproduce) penampakan fisik atas sesuatu. Film dokumenter membentuk “ingatan populer”, menawarkan cara-pandang dan penafsiran atas isu-isu, prosesproses, dan peristiwa-peristiwa kesejarahan yang hanya dapat dipahami dalam konteks sumber sang pembuatnya. Sehingga, film dokumenter sebenarnya bukanlah bentuk penyajian kenyataan atau peristiwa yang sepenuhnya objektif, tetapi menyajikan gambaran suatu kasus atau kejadian dengan susunan atau rangkaian (struktur) bersengaja dan pengaturan sudut pandang subjektif sang pembuatnya untuk mempengaruhi orang lain.
Sebaliknya, pembuat video komunitas justru baru memulai pekerjaan yang sesungguhnya ketika video atau filmnya sudah selesai. Mereka akan menggunakan video atau film tersebut sebagai alat untuk memulai proses-proses diskusi di tengah masyarakat yang sangat dikenalnya atau, karena dia sendiri memang adalah bagian dari mereka tentang berbagai hal yang berkaitan dengan tema atau isu yang diangkat dalam video atau film tadi. Karena itu, bisa saja terjadi suatu produk video komunitas dibuat ulang kembali sesuai dengan hasil dari proses-proses diskusi antar warga dan biasanya memerlukan waktu lebih lama, karena akan berhenti jika sasaran sudah dicapai. Bahkan karena masalah dan kegiatan komunitas tidak pernah ada habisnya video komunitas mungkin pula “tak pernah selesai” menjalankan fungsinya untuk membangun proses pendidikan di masyarakat.
Terdapat banyak contoh tentang efektifitas video dalam pengembangan masyarakat. Di Kanada, rekaman video berhasil membuat pemerintah kota menarik kembali keputusan memindahkan penduduk Pulau Fogo ke tempat lain. Di Maluku, sekelompok pengorganisir lokal dari jaringan Baileo di Haruku membuat video tentang sasi ikan lompa, yang kemudian berkembang hingga ke seluruh Maluku dan Indonesia. Dengan kata lain, video menjadi alat penghubung atau komunikasi antar warga mengenai berbagai persoalan yang mereka hadapi; menjadi bahan diskusi kelompok untuk bersama-sama mencari jalan keluar dari berbagai permasalahan yang terjadi di sekitar mereka, sekaligus sebagai alat
mendokumentasikan proses-proses pemecahan masalah yang mereka tempuh dan berkembang menjadi alat refleksi bersama untuk menentukan pilihan-pilihan arah dan cara-cara yang lebih baik dalam tindakan-tindakan mereka berikutnya. Seluruh rangkaian ini dikenal sebagai “daur belajar” (learning cycle) atau lingkar aksi-refleksi dalam proses-proses pendidikan masyarakat menjadi inti proses dari pembuatan dan penggunaan video komunitas.
Video komunitas juga membuka kesempatan kepada setiap anggota masyarakat setempat untuk terlibat aktif di dalam proses pembuatannya. Pernyataan dari semua kalangan dan lapisan warga yang berbeda dapat direkam, sehingga banyak suara yang tidak pernah terdengar, atau wajah-wajah yang tak pernah terlihat dalam berbagai kegiatan bersama warga selama ini, atau bahkan hal-hal yang selama ini kurang diperhatikan oleh warga setempat dapat dimunculkan di depan kamera. Proses-proses inilah yang membantu warga masyarakat setempat untuk berimajinasi secara visual tentang apa masalah-masalah nyata yang mereka hadapi saat ini, apa sesungguhnya yang ingin mereka capai di masa depan, dan apa yang harus mereka lakukan untuk itu semua.
(disadur dari buku Video Komunitas dan ditambahkan dengan beberapa literatur)